QS. Al Baqarah (2) ayat 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Tafsir Jalalain
Tafsir Ibnu Katsir
Al-Baqarah, ayat 23-24
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24)
Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang memang benar. Maka jika kalian tidak dapat membuat(nya) dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah diri kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
Kemudian Allah Swt. menetapkan masalah kenabian sesudah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Untuk itu, Allah mengarahkan khitab-Nya kepada orang-orang kafir melalui firman-Nya:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نزلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami. (Al-Baqarah: 23)
Yang dimaksud dengan hamba ialah Nabi Muhammad Saw. Maka datangkanlah sebuah surat yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Apabila kalian menduga bahwa Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, maka tantanglah Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengan apa yang didatangkan olehnya. Mintalah pertolongan kepada orang-orang yang kalian kehendaki selain Allah, karena sesungguhnya kalian pasti tidak akan mampu melakukan hal tersebut. Menurut Ibnu Abbas, syuhada-ukum artinya penolong-penolong kalian.
Menurut As-Saddi, dari Abu Malik, syuhada-ukum artinya sekutu-sekutu kalian. Dengan kata lain ialah kaum selain kalian yangmembantu kalian untuk melakukan hal tersebut. Mintalah pertolongankepada tuhan-tuhan kalian agar mereka membantu dan menolong kalian.
Mujahid mengatakan bahwa makna wad'u syuhada-akum artinya orang-orang yang akan menyaksikannya, mereka adalah juri-juri dari kalangan orang-orang yang fasih dalam berbahasa.
Allah Swt. menantang mereka untuk melakukan hal tersebut di lain ayat dari Al-Qur'an, yaitu dalam surat Al-Qashash:
قُلْ فَأْتُوا بِكِتَابٍ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ هُوَ أَهْدَى مِنْهُمَا أَتَّبِعْهُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah, "Datangkanlah oleh kalian sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur'an) niscaya aku mengikutinya, jika kalian sungguh orang-orang yang benar." (Al-Qashash: 49)
Di dalam surat Al-Isra disebutkan melalui firman-Nya:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
Katakanlah.”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra: 88)
Di dalam surat Hud Allah Swt. berfirman:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Bahkan mereka mengatakan, "Muhammad telah membuat-buat Al-Qur'an itu." Katakanlah, "(Jikalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)
Di dalam surat Yunus Allah Swt. telah berfirman:
وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Tidaklah mungkin Al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah duetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah, "(Kalau benar yang kalian katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kalian panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar" (Yunus: 37-38)
Semua ayat ini Makkiyyah, kemudian Allah menantang mereka dengan tantangan yang sama dalam surat-surat Madaniyyah. Untuk itu, Allah Swt. berfirman dalam ayat berikut: Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buailah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) Demikian pendapat Mujahid dan Qatadah, dipilih oleh Ibnu Jarir At-Tabari, Az-Zamakhsyari dan Ar-Razi, dinukil dari Umar, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Basri, dan kebanyakan ulama ahli Tahqiq.
Pendapat ini dinilai kuat berdasarkan peninjauan dari berbagai segi yang antara lain ialah Allah Swt. menantang mereka secara keseluruhan, baik secara terpisah maupun secara gabungan; yang dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang-orang ummi dari kalangan mereka dan orang-orang yang pandai baca tulis dari mereka. Yang demikian itu lebih sempurna dalam tantangannya dan lebih mencakup keseluruhannya daripada tantangan yang hanya ditujukan-kepada individu dari kalangan mereka yang ummi, yaitu orang-orang yang tidak dapat baca tulis dan tidak memperhatikan suatu ilmu pun. Sebagai buktinya ialah firman Allah Swt. yang mengatakan:
فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ
maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat menyamainya. (Hud: 13)
لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ
niscaya meraka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia. (Al-Isra : 88)
Sebagian ulama mangatakan bahwa bimislihi artinya dari orang yang semisal dengan Muhammad saw. yakni dari seorang lelaki yang ummi seperti dia. Tetapi pendapat yang sahih adalah yang pertama, karena tantangan ini bersifat umum bagi mereka semua. Padahal mereka adalah orang-orang yang paling fasih, dan Allah menantang mereka dengan tantangan ini di Mekah dan di Madinah beberapa kali karena mereka sangat memusuhi Nabi Saw. dan sangat membenci agamanya. Akan tetapi, sekalipun mereka adalah orang-orang yang fasih, ternyata mereka tidak mampu membuatnya. Karena itulah Allah Swt. berfirman:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا
Maka jika kalian tidak dapat (membuatnya), dan pasti kalian tidak akan dapat membuat(nya). (Al-Baqarah: 24)
Huruf lan bermakna menafikan untuk selamanya di masa mendatang, yakni kalian tidak akan mampu melakukannya untuk selama-lamanya. Hal ini merupakan suatu mukjizat tersendiri bahwa Allah Swt. mengemukakan suatu berita yang pasti mendahului segalanya tanpa rasa khawatir dan takut bahwa Al-Qur'an ini tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya untuk selama - lamanya. Memang kenyataannya demikian, sejak diturunkan dari Allah Swt. sampai sekarang tiada yang dapat membuat hal yang semisal dengannya. Tidak mungkin dan mustahil ada manusia yang dapat melakukannya. Al-Qur'an merupakan Kalamullah Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, mana mungkin kalam Yang Maha Pencipta dapat diserupakan dengan kalam makhluk-Nya.
Bagi orang yang memikirkan Al-Qur'an, niscaya dia akan menjumpai di dalamnya berbagai mukjizat keindahan-keindahan yang Lahir dan yang tersembunyi yang berkaitan dengan segi lafaz dan segi maknanya.
Allah Swt. telah berfirman:
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif lam ra, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahawaspada. (Hud: 1)
Lafaz-lafaz disusun dengan rapi dan kokoh, makna-maknanya dijelaskan secara rinci, atau sebaliknya menurut pendapat yang berbeda-beda. Setiap lafaz dan makna Al-Qur'an adalah fasih belaka, tiada yang dapat menandinginya, tiada pula yang dapat sejajar dengannya.
Allah Swt. menceritakan banyak hal yang terjadi di masa silam yang kisah-kisahnya terpendam, lalu kisahnya diangkat kembali sesuai dengan kejadiannya tanpa ada kekurangan sama sekali. Allah memerintahkan kepada semua perkara yang baik dan melarang setiap perbuatan yang buruk.
Allah Swt. telah berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. (Al-An'am: 115)
Dengan kata lain, benar dalam pemberitaan dan adil dalam hukum; semuanya adalah hak, benar, adil, dan petunjuk. Di dalam Al-Qur'an tidak terdapat spekulasi, tiada dusta, dan tiada buat-buatan, sebagaimana yang dijumpai dalam banyak syair Arab dan lain-lainnya yang dipenuhi dengan kedustaan dan spekulasi yang tidak akan indah syair-syair mereka bila tidak disertai dengan kedustaan dan spekulasi. Sebagaimana yang dikatakan bahwa syair yang paling indah ialah yang paling dusta.
Dijumpai dalam kasidah-kasidah yang panjang lagi bertele-tele, kebanyakan isinya hanya menceritakan wanita, kuda, khamr; atau memuji orang tertentu, unta, peperangan, kejadian, hal yang menakutkan atau sesuatu pemandangan yang tiada mengandung suatu faedah selain hanya menunjukkan kemampuan si penyair yang bersangkutan dalam menggambarkan sesuatu yang samar lagi lembut (jelimet), atau menampilkannya ke dalam gambaran yang jelas. Kemudian dijumpai satu bait, dua bait, atau lebih mencakup isi seluruh kasidah, sedangkan yang lainnya tidak ada gunanya dan tidak ada faedahnya selain hanya bertele-tele.
Adapun Al-Qur'an. seluruhnya fasih lagi berparamasastra sangat tinggi bagi orang yang mengetahui hal tersebut secara rinci dan secara global dari kalangan orang-orang yang mengerti bahasa Arab dan seni ungkapan mereka. Karena sesungguhnya jika kamu renungkan berita-beritanya, niscaya kamu menjumpainya sangat indah, baik yang diungkapkan dalam bentuk panjang ataupun ringkas. Sama saja apakah ungkapannya berulang atau tidak, sebab setiap kali berulang dirasakan bertambah indah dan anggun, tidak bosan membacanya, dan para ulama tidak pernah merasa jenuh.
Apabila Al-Qur'an mengungkapkan suatu ancaman atau peringatan, hal ini diungkapkannya dalam bahasa yang membuat gunung yang bisu lagi kokoh itu akan bergetar, terlebih lagi kalbu manusia yang memahaminya. Apabila mengemukakan suatu janji, diungkapkan dalam gaya bahasa yang membuat hati dan pendengaran manusia terbuka, merasa rindu kepada surga yang berada di sisi 'Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, sebagaimana yang dijelaskan dalam targib melalui firman-Nya:
فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah: 17)
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأنْفُسُ وَتَلَذُّ الأعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya. (Az-Zukhruf: 71)
Di dalam Bab "Tarhib" Allah Swt. telah berfirman:
أَفَأَمِنْتُمْ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمْ جَانِبَ الْبَرِّ
Maka apakah kalian merasa aman (dari hukuman Tuhan) yang menjungkirbalikkan sebagian daratan bersama kalian. (Al-Isra: 68)
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ * أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ
Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncangl Atau apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? (Al-Mulk: 16-17)
Dalam Bab "Peringatan" Allah Swt. telah berfirman:
فَكُلا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosa-nya. (Al-Ankabut 40)
Dalam Bab "Nasihat (Pelajaran)" Allah Swt. telah berfirman:
أَفَرَأَيْتَ إِنْ مَتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ * ثُمَّ جَاءَهُمْ مَا كَانُوا يُوعَدُونَ * مَا أَغْنَى عَنْهُمْ مَا كَانُوا يُمَتَّعُونَ
Maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya. (Asy-Syu'ara: 205-207)
Masih banyak ayat lainnya yang mengandung berbagai macam fasahah. paramasastra. dan keindahan. Apabila ayat-ayat Al-Qur'an menerangkan perihal hukum-hukum, perintah-perintah, dan larangan-larangan. maka setiap perintah selalu mengandung semua perkara makruf, baik, bermanfaat, dan larangan terhadap setiap perbuatan yang buruk, hina, dan rendah.
Ibnu Mas'ud r.a. dan lain-lainnya dari kalangan ulama Salaf mengatakan, "Apabila kamu mendengar Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur'an, 'Hai orang-orang yang beriman,' maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung kebaikan yang akan diperintahkan oleh-Nya atau keburukan yang dilarang oleh-Nya." Allah Swt. telah berfirman:
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأغْلالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. (Al-A'raf: 157)
Apabila ayat-ayat menerangkan gambaran tentang hari kiamat berikut semua kesusahan dan kengerian yang terdapat di dalamnya, gambaran tentang surga, neraka, dan semua yang disediakan oleh Allah buat kekasih-kekasih-Nya serta musuh-musuhnya, yaitu kenikmatan dan neraka, serta perlindungan dan siksa yang pedih, maka diungkapkannya dalam bentuk berita gembira, larangan, serta peringatan. Yaitu ungkapan yang mendorong untuk mengerjakan semua kebaikan dan menjauhi semua kemungkaran, mendorong untuk berzuhud terhadap duniawi serta lebih suka kepada pahala di akhirat, dan memperteguh jalan yang penuh dengan keteladanan, memberikan petunjuk ke jalan Allah yang lurus dan syariatnya yang tegak, serta membersihkan hati dari kotoran setan yang terkutuk.
Karena itu, telah ditetapkan di dalam kitab Sahihain dari Abu Hurairah r.a.,bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"مَا مِنْ نَبِيٍّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ إِلَّا قَدْ أعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ، وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِي أُوتِيتُهُ وَحْيًا أَوْحَاهُ اللَّهُ إليَّ، فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Tiada seorang nabi pun melainkan telah dianugerahi suatu mukjizat yang disesuaikan dengan apa yang diimani oleh manusia di masanya. Dan sesungguhnya apa yang telah diberikan kepadaku hanyalah wahyu yang diturunkan oleh Allah kepadaku, maka aku berharap semoga aku adalah nabi yang paling banyak pengikutnya di antara semua nabi-nabi kelak di hari kiamat.
Lafaz hadis ini berasal dari Imam Muslim.
Dengan kata lain, sesungguhnya apa yang diberikan kepadaku hanyalah berupa wahyu; aku mempunyai kekhususan tersendiri di antara mereka (para nabi), yaitu diberi wahyu Al-Qur'an ini yang melemahkan seluruh umat manusia untuk membuat hal yang semisal dengannya, lain halnya dengan kitab-kitab samawi lainnya. Karena sesungguhnya kitab-kitab samawi selain Al-Qur'an menurut kebanyakan ulama bukan merupakan mukjizat. Tetapi Nabi Saw. selain memiliki mukjizat Al-Qur'an, memiliki pula mukjizat-mukjizat lainnya yang menunjukkan kenabian dan kebenaran apa yang didatangkan olehnya, dan hal ini jumlahnya cukup banyak hingga tak terhitung; segala puji dan anugerah hanyalah milik Allah.
Sebagian ulama ahli Kalam ada yang menetapkan unsur i'jaz di dalam Al-Qur'an dengan suatu metode yang mencakup antara pendapat ahli sunnah dan golongan mu'tazilah yang menyatakan sirfah. Dia mengatakan, jika Al-Qur'an ini mengandung i'jaz dengan sendirinya —yakni manusia tidak akan mampu mendatangkan yang semisal dengannya dan di luar kemampuan mereka pula untuk menentangnya— berarti apa yang diakui benar-benar telah terjadi. Jika mereka mempunyai kemampuan untuk menentang Al-Qur'an dengan hal yang semisal dengannya, sedangkan mereka tidak mampu melakukannya, padahal mereka sangat memusuhinya. maka hal ini merupakan bukti yang menunjukkan bahwa Al-Qur'an benar-benar dari sisi Allah; karena Allah men-sirfah (memalingkan) mereka untuk dapat menentangnya (Al-Qur'an), padahal mereka mempunyai kemampuan untuk menentangnya dengan hal yang semisal. Analisis seperti ini —sekalipun kurang dapat diterima— mengingat Al-Qur'an itu sendiri mengandung mukjizat yang membuat manusia tidak mampu menentangnya dengan hal yang semisal, seperti yang telah kami sebutkan di atas. Hanya saja analisis ini dapat diterima dengan pengertian sebagai perumpamaan dan tantangan terhadap perkara yang hak. Metode inilah yang dipakai oleh Ar-Razi dalam menjawab hipotesisnya di dalam kitab tafsirnya menyangkut surat yang pendek-pendek, seperti surat Al-'Asr dan Al-Kausar.
***********
Allah Swt. telah berfirman:
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Peliharalah diri kalian dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24)
Yang dimaksud dengan al-waqud ialah sesuatu yang dicampakkan ke dalam api untuk membesarkannya, seperti kayu bakar dan lain-lain-nya; sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu:
وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا
Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka Jahannam. (Al-Jin: 15)
Allah Swt. telah berfirman pula:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam, kalian pasti masuk ke dalamnya. (Al-Anbiya: 98)
Yang dimaksud al-hijarah dalam surat Al-Baqarah ini ialah batu pemantik api yang sangat besar, hitam, keras, dan berbau busuk. Batu jenis ini paling panas jika dipanaskan, semoga Allah melindungi kita darinya.
Abdul Malik ibnu Maisarah Az-Zarrad meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Sabit, dari Amr ibnu Maimun, dari Abdullah ibnu Mas'ud sehubungan dengan firman-Nya: bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (Al-Baqarah: 24) Bahwa batu yang dimaksudkan adalah batu kibrit (pemantik api), Allah telah menciptakannya di saat Allah menciptakan langit dan bumi, yaitu di langit yang paling rendah, sengaja disediakan buat orang-orang kafir.
Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Jarir dengan lafaz seperti ini, diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadraknya; ia mengatakan bahwa dengan syarat Syaikhain.
As-Saddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud dan dari sejumlah sahabat sehubungan dengan makna ayat ini. Adapun yang dimaksud dengan al-hijarah ialah batu yang ada di dalam neraka, yaitu batu kibrit berwarna hitam; mereka (orang-orang kafir) diazab di dalam neraka dengan batu itu dan api neraka.
Mujahid mengatakan bahwa hijarah ini berasal dari batu kibrit yang baunya lebih busuk daripada bangkai.
Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan bahwa batu tersebut adalah batu kibrit.
Ibnu Juraij mengatakan, batu tersebut adalah batu kibrit hitam yang berada di dalam neraka. Menurut Amr ibnu Dinar, batu tersebut jauh lebih keras dan lebih besar daripada yang ada di dunia.
Menurut pendapat yang lain, batu tersebut dimaksudkan batu berhala dan tandingan-tandingan yang disembah selain Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman lainnya, yaitu: Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah makanan Jahannam. (Al-Anbiya: 98)
Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Qurtubi dan Ar-Razi yang menilainya lebih kuat daripada pendapat di atas. Ar-Razi mengatakan, dikatakan demikian karena bukan merupakan hal yang diingkari bila api mengejar batu kibrit, untuk itu lebih utama bila bahan bakar tersebut diartikan sebagai batu-batuan jenis kibrit. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Ar-Razi masih kurang kuat, mengingat api itu apabila dibesarkan nyalanya dengan batu kibrit, maka panasnya lebih kuat dan nyalanya lebih besar. Terlebih lagi diartikan seperti yang telah dikatakan oleh ulama Salaf, bahwa batu-batuan tersebut adalah batu kibrit yang disediakan untuk tujuan tersebut. Selanjutnya merupakan suatu hal yang nyata pula bila api dapat membakar jenis batu-batuan lainnya, misalnya batu jas (kapur), jika dibakar dengan api, ia menyala, kemudian menjadi kapur. Demikian pula halnya semua batuan lainnya, bila dibakar oleh api pasti terbakar dan menjadi hancur.
Sesungguhnya hal ini dikaitkan dengan panasnya api neraka yang diancamkan kepada mereka. Juga dikaitkan dengan kebesaran nyalanya, sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya berikut ini:
كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97)
Demikian pendapat yang dinilai kuat oleh Al-Qurtubi. Disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah batu-batuan yang dapat menambah nyala api dan menambah derajat kepanasannya, dimaksudkan agar hal ini menambah keras siksaannya terhadap para penghuninya.
Al-Qurtubi mengatakan pula, telah disebut sebuah hadis dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. pernah bersabda:
"كُلُّ مُؤْذٍ فِي النَّارِ"
Setiap yang menyakitkan pasti ada dalam neraka.
Hadis ini kurang dihafal dan kurang dikenal di kalangan ulama ahli hadis. Kemudian Al-Qurtubi mengatakan bahwa hadis ini diinterpretasikan dengan dua makna. Makna pertama menyatakan bahwa setiap orang yang mengganggu orang lain dimasukkan ke dalam neraka. Makna yang kedua mengartikan bahwa setiap yang menyakitkan para penghuninya —seperti binatang buas, serangga beracun, dan lain-lain-nya— terdapat pula di dalam neraka.
Firman Allah, "U'iddat lil kafirin" menurut pendapat yang paling kuat damir yang terdapat di dalam lafaz u'iddat kembali kepada neraka yang bahan bakarnya terdiri atas manusia dan batu-batuan. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa damir tersebut kembali kepa-da al-hijarah, sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud r.a. Kedua pendapat tersebut tidak bertentangan dalam hal makna, karena keduanya saling mengait dengan yang lainnya.
U'iddat, disediakan buat orang-orang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq, dari Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa makna firman-Nya, "Disediakan bagi orang-orang kafir" (Al-Baqarah: 24) ialah 'buat orang yang kafir di antara kalian'.
Banyak orang dari kalangan para imam sunnah yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa neraka itu sekarang telah ada, yakni telah diciptakan Allah Swt. atas dasar firman-Nya: yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah: 24) Dengan kata lain, neraka itu telah dipersiapkan dan disediakan buat mereka yang kafir.
Banyak hadis yang menunjukkan pengertian ini (bahwa neraka telah ada), antara lain ialah hadis yang menceritakan bahwa surga dan neraka saling membantah.
Hadis lainnya menyebutkan:
"اسْتَأْذَنَتِ النَّارُ رَبَّهَا فَقَالَتْ: رَبِّ أَكَلَ بَعْضِي بَعْضًا فَأَذِنَ لَهَا بِنَفَسَيْنِ نَفَسٌ فِي الشِّتَاءِ وَنَفَسٌ فِي الصَّيْفِ"
Neraka meminta izin kepada Tuhannya. Untuk itu ia berkata, "Wahai Tuhanku, sebagian dariku memakan sebagian yang lainnya." Akhirnya ia diizinkan untuk mengeluarkan dua embusan, yaitu embusan di waktu musim dingin dan embusan lainnya di waktu musim panas.
Demikian pula dalam hadis yang diceritakan oleh Abdullah ibnu Mas'ud r.a.:
سَمِعْنَا وَجْبَةً فَقُلْنَا مَا هَذِهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَذَا حَجَرٌ أُلْقِيَ بِهِ مِنْ شَفِيرِ جَهَنَّمَ مُنْذُ سَبْعِينَ سَنَةً الْآنَ وَصَلَ إِلَى قَعْرِهَا"
Kami pernah mendengar suatu suara gemuruh, lalu kami bertanya, "Suara apakah itu?" Maka Rasulullah Saw. menjawab, "Itu adalah suara batu yang dilemparkan dari pinggir neraka Jahannam sejak tujuh puluh tahun yang silam, dan sekarang baru sampai ke dasarnya."
Hadis ini menurut lafaz Imam Muslim.
Juga hadis yang menceritakan salat gerhana Nabi Saw., hadis mengenai malam isra, dan hadis-hadis lain yang menunjukkan makna yang sama dengan pengertian yang sedang dalam bahasan kita ini. Akan tetapi, golongan Mu'tazilah menentang pendapat ini karena kebodohan mereka sendiri, tetapi pendapat mereka didukung oleh Kadi Munzir ibnu Sa'id Al-Balluti, kadi di Andalusia.
*************
Firman Allah Swt. yang mengatakan:
فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
maka buatlah satu surat saja yang semisal dengan Al-Qur'an. (Al-Baqarah: 23)
dan firman Allah Swt. di dalam surat Yunus, yaitu:
بِسُورَةٍ مِثْلِهِ
sebuah surat semisal dengannya. (Yunus: 38)
makna yang dimaksud mencakup semua surat Al-Qur'an —baik surat yang panjang maupun yang pendek— mengingat lafaz surat diungkapkan dalam bentuk nakirah dalam konteks syarat. Lafaz seperti itu bermakna umum, sama halnya dengan nakirah yang diungkapkan dalam konteks nafi menurut ahli tahqiq dari kalangan ulama Usul; hal ini akan diterangkan nanti dalam pembahasannya sendiri.
Unsur i'jaz memang terkandung di dalam surat-surat yang panjang, juga surat-surat yang pendek. Sepengetahuan kami tidak ada ulama yang memperselisihkan pendapat ini, baik yang Salaf maupun yang Khalaf.
Tetapi Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa firman Allah Swt. yang mengatakan: Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an itu. (Al-Baqarah: 23) diartikan mencakup surat Al-Kausar, Al-'Asr, dan Al-Kafirun. Kita mengetahui bahwa membuat sesuatu yang semisal dengannya atau yang mendekatinya merupakan suatu hal yang mungkin dapat dilakukan dengan pasti. Karena itu, merupakan suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan jika dikatakan bahwa membuat hal yang semisal dengan surat-surat tersebut merupakan suatu hal yang di luar kemampuan manusia. Apabila kita berpendapat seperti pendapat yang berlebihan ini, justru akibatnya akan mengurangi keagungan agama (Al-Qur'an) itu sendiri.
Berdasarkan pengertian inilah kami memilih cara lain dalam menginterpretasikannya; dan kami katakan jika surat-surat tersebut tingkatan kefasihannya mencapai tingkatan i'jaz, berarti bukan menjadi masalah lagi. Tetapi jika tidak demikian keadaannya, berarti ketidakmampuan orang-orang kafir untuk menyainginya merupakan suatu mukjizat tersendiri, mengingat dorongan yang ada pada diri mereka untuk melecehkan Al-Qur'an benar-benar kuat. Atas dasar kedua hipotesis ini unsur i'jaz tetap ada. Demikian nukilan secara harfiah dari Ar-Razi.
Menurut pendapat yang benar, setiap surat dari Al-Qur'an merupakan mukjizat, manusia tidak akan mampu menandinginya, baik surat yang panjang maupun yang pendek.
Imam Syafii rahimahullah mengatakan, "Jikalau manusia memikirkan makna yang terkandung di dalam surat berikut, niscaya sudah menjadi kecukupan bagi mereka," yaitu firman-Nya:
وَالْعَصْرِ * إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ * إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. (Al-'Asr: 1-3)
Kami meriwayatkan dari Amr ibnul As, bahwa sebelum masuk Islam dia pernah bertamu kepada Musailamah Al-Kazzab. Lalu Musailamah bertanya kepadanya, "Apakah yang telah diturunkan kepada teman kalian (Nabi Muhammad) di Mekah di masa sekarang?" Maka Amr menjawabnya, "Sesungguhnya telah diturunkan kepadanya suatu surat yang ringkas lagi balig." Musailamah bertanya, "Surat apakah?" Amr menjawab: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. (Al-'Asr: 1-2) Maka Musailamah berpikir sejenak, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata, "Sesungguhnya telah diturunkan pula kepadaku hal yang semisal dengannya." Amr bertanya, "Apakah itu?" Musailamah berkata, "Hai kelinci, hai kelinci, sesungguhnya kamu hanya terdiri atas dua telinga dan dada, sedangkan selain itu pendek dan kurus." Kemudian Musailamah bertanya, "Bagaimanakah menurut pendapatmu, hai Amr." Amr menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa diriku mengetahui kamu berdusta."
Al-Baqarah, ayat 30
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ (30)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
Allah Swt. menceritakan perihal anugerah-Nya kepada Bani Adam, yaitu sebagai makhluk yang mulia; mereka disebutkan di kalangan makhluk yang tertinggi —yaitu para malaikat— sebelum mereka diciptakan. Untuk itu, Allah Swt. berfirman: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. (Al-Baqarah: 30)
Makna yang dimaksud ialah 'hai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakanlah hal ini kepada kaummu'.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari salah seorang ahli bahasa Arab —yaitu Abu Ubaidah— bahwa lafaz iz dalam ayat ini merupakan huruf zaidah (tambahan), dan bentuk lengkap kalimat ialah wa qala rabbuka tanpa memakai iz.
Pendapat tersebut dibantah oleh Ibnu Jarir. Menurut Al-Qurtubi, semua ahli tafsir pun membantahnya. Hingga Az-Zujaj mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan suatu tindakan kurang ajar dari Abu Ubaidah.
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلائِفَ الأرْضِ
Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi. (Al-An'am: 165)
وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ
dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi. (An-Naml: 62)
وَلَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَا مِنْكُمْ مَلائِكَةً فِي الأرْضِ يَخْلُفُونَ
Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai ganti kalian di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. (Az-Zukhruf: 60)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ
Maka datanglah sesudah mereka generasi lain. (Al-A'raf: 169)
Menurut qiraah yang syaz dibaca inni ja'ilun fil ardi khalifah (sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah-khalifah di muka bumi). Demikianlah diriwayatkan oleh Zamakhsyari dan lain-lainnya.
Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan pendapat ini kepada Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi, apa yang dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan. Bahkan perselisihan dalam masalah ini banyak, menurut riwayat Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juga oleh yang lainnya.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum kelihatan di alam wujud. Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-Nya dinilai kurang sesuai, yaitu: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Karena sesungguhnya mereka (para malaikat) bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini ada orang-orang yang melakukan hal tersebut, seakan-akan mereka mengetahui hal tersebut melalui ilmu yang khusus, atau melalui apa yang mereka pahami dari watak manusia. Karena Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan jenis makhluk ini dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam. Atau mereka berpemahaman bahwa yang dimaksud dengan khalifah ialah orang yang melerai persengketaan di antara manusia, yaitu memutuskan hukum terhadap apa yang terjadi di kalangan mereka menyangkut perkara-perkara penganiayaan, dan melarang mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan serta dosa-dosa. Demikianlah menurut Al-Qurtubi. Atau para malaikat mengkiaskan manusia dengan makhluk sebelumnya, sebagaimana yang akan kami kemukakan dalam berbagai pendapat ulama tafsir.
Ucapan para malaikat ini bukan dimaksudkan menentang atau memprotes Allah, bukan pula karena dorongan dengki terhadap manusia, sebagaimana yang diduga oleh sebagian ulama tafsir. Sesungguhnya Allah Swt. menyifati para malaikat; mereka tidak pernah mendahului firman Allah Swt., yakni tidak pernah menanyakan sesuatu kepada-Nya yang tidak diizinkan bagi mereka mengemukakannya.
Dalam ayat ini (dinyatakan bahwa) ketika Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan di bumi suatu makhluk —menurut Qatadah—, para malaikat telah mengetahui sebelumnya bahwa makhluk-makhluk tersebut gemar menimbulkan kerusakan padanya (di bumi). Maka mereka mengatakan: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya kalimat ini merupakan pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung di dalam penciptaan itu. Mereka mengatakan, "Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal di antara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan mengalirkan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau," yakni kami selalu beribadah kepada-Mu, sebagaimana yang akan disebutkan nanti. Dengan kata lain (seakan-akan para malaikat mengatakan), "Kami tidak pernah melakukan sesuatu pun dari hal itu (kerusakan dan mengalirkan darah), maka mengapa Engkau tidak cukup hanya dengan kami para malaikat saja?"
Allah Swt. berfirman menjawab pertanyaan tersebut:
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Dengan kata lain, seakan-akan Allah bermaksud bahwa sesungguhnya Aku mengetahui hal-hal yang tidak kalian ketahui menyangkut kemaslahatan yang jauh lebih kuat dalam penciptaan jenis makhluk ini daripada kerusakan-kerusakan yang kalian sebut itu. Karena sesungguhnya Aku akan menjadikan dari kalangan mereka nabi-nabi dan rasul-rasul; di antara mereka ada para siddiqin, para syuhada, orang-orang saleh, ahli ibadah, ahli zuhud, para wali, orang-orang bertakwa, para muqarrabin, para ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang yang khusyuk, dan orang-orang yang cinta kepada Allah Swt. lagi mengikuti jejak rasul-rasul-Nya.
Ditetapkan di dalam hadis sahih bahwa para malaikat itu apabila naik (ke langit) menghadap kepada Tuhan mereka seraya membawa amal-amal hamba-hamba-Nya, maka Allah Swt. bertanya kepada mereka (sekalipun Dia lebih mengetahui), "Dalam keadaan apakah kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?" Mereka (para malaikat) menjawab, "Kami datangi mereka dalam keadaan sedang salat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang salat."
Demikian itu karena mereka datang kepada kita secara silih berganti, dan mereka berkumpul dalam salat Subuh dan salat Asar. Malaikat yang datang tinggal bersama kita, sedangkan malaikat yang telah menunaikan tugasnya naik meninggalkan kita seraya membawa amal-amal kita, sebagaimana yang disebutkan oleh sabda Nabi Saw.:
"يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ اللَّيْلِ"
Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan malam hari sebelum siang hari, dan amal siang hari sebelum malam hari.
Ucapan para malaikat yang mengatakan, "Kami datangi mereka sedang dalam keadaan salat, dan kami tinggalkan mereka sedang dalam keadaan salat," merupakan tafsir dari firman-Nya kepada mereka (para malaikat): Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Menurut pendapat lain, firman-Nya ini merupakan jawaban kepada mereka, yang artinya, "Sesungguhnya Aku mempunyai hikmah terinci mengenai penciptaan makhluk ini, sedangkan keadaan yang kalian sebut itu sebenarnya kalian tidak mengetahuinya."
Menurut pendapat lainnya, firman Allah Swt ini merupakan jawaban ucapan mereka yang disitir oleh firman-Nya: padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah Swt. berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Maksudnya, keberadaan iblis di antara kalian dan keadaan penciptaan ini tidaklah sebagaimana yang kalian gambarkan itu.
Menurut pendapat yang lain, bahkan ucapan para malaikat tersebut disitir oleh firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Ayat ini mengandung makna permintaan mereka kepada Allah untuk menghuni bumi sebagai ganti dari Bani Adam, lalu Allah Swt. berfirman kepada mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Artinya, keberadaan kalian pada tempatnya lebih maslahat dan lebih layak bagi kalian. Demikian yang disebut oleh Ar-Razi dalam salah satu jawabannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadanya Al-Qasim ibnul Hasan, telah menceritakan kepadaku Al-Hajjaj, dari Jarir ibnu Hazim dan Mubarak, dari Al-Hasan dan Abu Bakar, dari Al-Hasan dan Qatadah. Semua menceritakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi." Firman Allah yang menyatakan bahwa 'Dia akan melakukan hal tersebut' artinya 'Dia memberitahukan hal tersebut kepada mereka'.
As-Saddi mengatakan, Allah bermusyawarah dengan para malaikat tentang penciptaan Adam. Demikian diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. As-Saddi mengatakan bahwa hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Qatadah. Ungkapan ini mengandung sikap gegabah jika tidak dikembalikan kepada pengertian pemberitahuan. Ungkapan Al-Hasan serta Qatadah dalam riwayat Ibnu Jarir merupakan ungkapan yang lebih baik.
Sehubungan dengan makna firman-Nya, "Fil ardi," Ibnu Abu Hatim meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَابِطٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "دُحِيت الْأَرْضُ مِنْ مَكَّةَ، وَأَوَّلُ مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ الْمَلَائِكَةُ، فَقَالَ اللَّهُ: إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً، يَعْنِي مَكَّةَ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Ata ibnus Sa'ib, dari Abdur Rahman ibnu Sabit, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Bumi dihamparkan mulai dari Mekah, dan yang mula-mula melakukan tawaf di Baitullah adalah para malaikai, lalu Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi," yakni Mekah.
Hadis ini berpredikat mursal, sedangkan di dalam sanadnya terdapat kelemahan, dan di dalam hadis ini terdapat madraj (kalimat yang dari luar hadis), yaitu makna yang dimaksud dengan bumi adalah Mekah. Karena sesungguhnya menurut pengertian lahiriah, yang dimaksud dengan bumi lebih umum daripada hal itu (Mekah).
Firman Allah, "Khalifah," menurut As-Saddi di dalam kitab tafsirnya, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat, disebutkan bahwa Allah Swt berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." Mereka bertanya, "Wahai Tuhan kami, siapakah khalifah tersebut?" Allah berfirman, "Kelak dia mempunyai keturunan yang suka membuat kerusakan di muka bumi, saling mendengki, dan sebagian mereka membunuh sebagian yang lain."
Ibnu Jarir mengatakan bahwa takwil ayat ini seperti berikut, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah dari-Ku yang berkedudukan menggantikan diri-Ku dalam memutuskan hukum secara adil di kalangan makhluk-Ku." Sesungguhnya khalifah itu adalah Adam dan orang-orang yang menempati kedudukannya dalam ketaatan kepada Allah dan memutuskan hukum dengan adil di kalangan makhluk-Nya. Mereka yang suka menimbulkan kerusakan dan mengalirkan darah tanpa alasan yang dibenarkan, hal itu bukan berasal dari khalifah-khalifah-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna khilafah yang disebut oleh Allah Swt. tiada lain khilafah satu generasi dari mereka atas generasi yang lainnya. Ibnu Jarir mengatakan bahwa khalifah fi'liyyah diambil dari perkataan khalafa fulanun fulanan fi hazal amri; dikatakan demikian apabila Fulan pertama menggantikan Fulan yang kedua dalam hal itu sesudahnya. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلائِفَ فِي الأرْضِ مِنْ بَعْدِهِمْ لِنَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
Kemudian Kami jadikan kalian pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kalian berbuat. (Yunus: 14)
Termasuk ke dalam pengertian ini dikatakan kepada sultan yang terbesar sebagai khalifah, karena dia berkedudukan menggantikan sultan yang sebelumnya dalam menjabat urusan-urusannya, maka dikatakanlah dia sebagai penggantinya.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa Muhammad Ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud ialah sebagai penghuni dan pembangunnya. Dengan kata lain, yang akan membangun bumi dan menghuninya adalah makhluk selain kalian (para malaikat).
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi adalah makhluk jin. Lalu mereka menimbulkan kerusakan di atas bumi dan mengalirkan banyak darah serta sebagian dari mereka membunuh sebagian yang lain." Ibnu Abbas melanjutkan perkataannya, "Setelah itu Allah mengirimkan Iblis untuk memerangi mereka. Akhirnya iblis bersama para malaikat memerangi jin, hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau yang ada di berbagai laut dan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah itu Allah menciptakan Adam, lalu menempatkannya di bumi. Untuk itu Allah Swt berfirman: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi' (Al-Baqarah: 30)."
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa'ib, dari Ibnu Sabit sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah. (Al-Baqarah: 30) Yang dimaksud oleh para malaikat adalah Bani Adam (manusia).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Allah berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menciptakan di muka bumi makhluk (manusia) dan Aku akan menjadikan seorang khalifah padanya," sedangkan saat itu Allah Swt. tidak memiliki makhluk selain malaikat dan bumi yang masih belum ada makhluknya. Maka para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan?"
Dalam keterangan yang lalu telah disebutkan sebuah riwayat yang diketengahkan oleh As-Saddi melalui Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, serta sejumlah sahabat; ketika Allah Swt. memberitahukan kepada para malaikat tentang apa saja yang akan dilakukan oleh keturunan Adam, maka malaikat mengatakan hal tersebut.
Dalam keterangan yang lalu disebutkan pula sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas, bahwa jin menimbulkan kerusakan di muka bumi sebelum Adam, maka para malaikat mengatakan hal tersebut; mereka mengkiaskan manusia dengan jin.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad At-Ta-nafisi, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Bukair ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa pada mulanya Jin Banul Jan adalah penghuni bumi sebelum Adam diciptakan dalam tenggang masa dua ribu tahun. Lalu jin menimbulkan kerusakan di bumi dan mengalirkan darah. Maka Allah mengirimkan bala tentara dari kalangan para malaikat. Lalu para malaikat memukul (memerangi) mereka hingga mengejar mereka sampai ke pulau-pulau di berbagai lautan. Kemudian Allah berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah? (Al-Baqarah: 30) Lalu Allah berfirman menjawab mereka: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Razi' ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30) sampai dengan firman-Nya: dan Aku mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan. (Al-Baqarah: 33) Bahwa Allah menciptakan malaikat pada hari Rabu, menciptakan jin pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari Jumat. Ternyata suatu kaum dari makhluk jin itu kafir, lalu para malaikat turun ke bumi memerangi mereka karena mereka membangkang yang sebelumnya diawali dengan kerusakan di muka bumi. Karena itulah para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya, seperti kerusakan yang dilakukan oleh makhluk jin. dan mengalirkan darah seperti yang dilakukan oleh mereka?'*
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudalah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, bahwa Allah Swt. berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi," yakni Allah berfirman kepada mereka, "Sesungguhnya Aku hendak melakukannya." Mereka beriman kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengajarkan kepada mereka suatu ilmu dan menyembunyikan ilmu yang lain dari mereka yang hanya diketahui-Nya, sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Lalu mereka mengatakan atas dasar ilmu yang mereka ketahui, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Lalu Allah menjawab melalui firman-Nya, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui."
Al-Hasan mengatakan, dahulu makhluk jin menimbulkan kerusakan di muka bumi dan gemar mengalirkan darah. Akan tetapi, Allah menjadikan dalam hati mereka (para malaikat) bahwa hal tersebut akan terjadi, lalu mereka mengucapkan kata-kata yang diajarkan-Nya kepada mereka itu.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, sehubungan dengan makna firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya. (Al-Baqarah: 30) Pada mulanya Allah memberitahukan kepada para malaikat, "Apabila di muka bumi terdapat makhluk, niscaya makhluk itu akan menimbulkan kerusakan padanya dan suka mengalirkan darah." Oleh sebab itu mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya?"
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari orang yang dikenal (yakni Ibnu Kharbuz Al-Makki), dari seseorang yang pernah mendengar Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali mengatakan hal berikut: As-Sijl adalah malaikat, teman-temannya antara lain Harut dan Marut, sedangkan As-Sijl setiap harinya mempunyai kesempatan melihat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz) sebanyak tiga kali. Kemudian ia melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya, maka ia memandangnya dan ternyata di dalamnya terdapat perihal penciptaan Adam dan semua perkara yang berkaitan dengannya. Lalu As-Sijl membisikkan hal tersebut kepada Harut dan Marut yang merupakan pembantu As-Sijl. Ketika Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka mengatakan, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Keduanya mengatakan hal tersebut dengan maksud ingin melebihi para malaikat lainnya.
Asar ini garib (aneh), seandainya asar ini memang benar dari Abu Ja'far Muhammad ibnu Ali Ibnul Husain Al-Baqir, maka dia menukilnya dari kalangan ahli kitab; di dalam kisah ini terkandung kemungkaran yang mengakibatkan asar ini ditolak. Kesimpulan riwayat ini menyatakan bahwa malaikat yang mengatakan hal tersebut hanya dua malaikat saja, padahal pengertian ini bertentangan dengan konteksnya.
Hal yang lebih aneh lagi ialah asar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang menyatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Abu Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Yahya ibnu Abu Kasir yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa para malaikat yang mengatakan seperti apa yang disebut dalam ayat berikut, yaitu firman-Nya: Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Jumlah mereka semuanya ada sepuluh ribu malaikat, kemudian keluarlah api dari sisi Allah dan membakar mereka. Kisah ini pun merupakan kisah Israiliat yang mungkar, sama dengan kisah sebelumnya.
Ibnu Juraij mengatakan, sesungguhnya mereka (para malaikat) hanya mengatakan apa-apa yang telah diajarkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bahwa hal tersebut akan terjadi sejak penciptaan Adam, lalu mereka berkata, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?"
Ibnu Jarir mengatakan, sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya para malaikat mengatakan, "Mengapa Engkau menjadikan khalifah di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Karena Allah telah mengizinkan mereka menanyakan hal tersebut sesudah Allah memberitahukan kepada mereka bahwa hal itu akan terjadi di kalangan Bani Adam. Lalu para malaikat bertanya kepada Allah Swt. dengan ungkapan yang mengandung pengertian aneh terhadap hal tersebut, "Mengapa mereka berbuat durhaka terhadap-Mu, wahai Tuhan, padahal Engkaulah Yang menciptakan mereka?" Maka Allah menjawab mereka melalui firman-Nya: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30) Dengan kata lain, hal tersebut pasti terjadi di kalangan mereka, sekalipun kalian tidak diberi tahu mengenainya; dan sebagian dari apa yang kalian kemukakan kepada-Ku menunjukkan rasa taat kalian kepada-Ku.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa sebagian ulama mengatakan hal tersebut diajukan oleh para malaikat untuk meminta petunjuk tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui mengenai hal itu. Seakan-akan mereka-mengatakan, "Wahai Tuhan, ceritakanlah kepada kami," sebagai ungkapan meminta penjelasan, bukan sebagai ungkapan protes. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna fir-man-Nya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30) Bahwa para malaikat meminta pendapat tentang penciptaan Adam. Untuk itu mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" Mereka mengatakan demikian karena mengetahui bahwa tiada suatu perbuatan pun yang lebih dibenci oleh Allah selain dari mengalirkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi. Lalu para malaikat berkata pula, "Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau." Allah Swt. berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." Termasuk di antara hal yang hanya ada dalam pengetahuan Allah Swt. ialah bahwa di antara khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum yang saleh, dan para penghuni surga.
Sa'id ibnu Qatadah mengatakan, telah sampai kepada kami, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa dia pernah berkata, "Sesungguhnya ketika Allah Swt. hendak menciptakan Adam a.s., para malaikat berkata, 'Allah tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dan lebih alim di sisi-Nya daripada kami.' Maka mereka diuji dengan penciptaan Adam." Setiap makhluk mendapat ujian, seperti langit dan bumi menerima ujian untuk taat kepada Allah Swt., sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya;
اِئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa! Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati." (Fushshila:t 11)
***************
Firman Allah Swt.:
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ
Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30)
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa tasbih dan taqdis artinya salat.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas'ud serta dari sejumlah sahabat sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Menurut mereka, makna yang dimaksud ialah para malaikat berkata, "Kami senantiasa salat kepada-Mu."
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa kami senantiasa mengagungkan dan membesarkan Engkau. Sedangkan menurut Ad-Dahhak, makna taqdis ialah menyucikan. Menurut Muhammad ibnu Ishaq, makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami tidak pernah berbuat maksiat terhadap-Mu dan kami tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak Engkau sukai.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna taqdis ialah mengagungkan dan menyucikan. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah lafaz subbuhun quddusun; dimaksudkan dengan ucapan mereka subbuhun artinya memahasucikan Allah, dan arti quddusun ialah menyucikan dan mengagungkan Allah. Hal yang sama dikatakan pula terhadap tanah seperti Tanah Suci, yang dimaksud ialah tanah yang disucikan. Dengan demikian, berarti makna firman-Nya: Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami senantiasa menyucikan Engkau dan membersihkan Engkau dari hal-hal yang dinisbatkan oleh orang-orang kafir kepada-Mu. Dan makna firman-Nya: dan menyucikan Engkau. (Al-Baqarah: 30) Kami nisbatkan Engkau kepada suatu hal dari sifat-sifat-Mu, yaitu suci dari semua hal yang kotor dan suci dari segala sesuatu yang disandarkan oleh orang-orang kafir kepada Engkau.
Di dalam sebuah hadis sahih Muslim disebutkan dari Abu Zar r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya mengenai kalam (zikir) yang paling utama. Maka beliau menjawab:
"مَا اصْطَفَى اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ"
Zikir yang dipilih oleh Allah buat para malaikat-Nya yaitu Subhanallah wa bihamdihi (Mahasuci Allah dengan segala puji-Nya).
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Qart, bahwa Rasulullah Saw. di malam beliau di-isra-kan mendengar suara tasbih di langit yang tertinggi mengatakan:
"سُبْحَانَ الْعَلِيِّ الْأَعْلَى سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى"
Subhanal 'aliyyil A’la subhanahu wa ta'ala (Mahasuci Tuhan Yang Maha Tinggi atas segalanya, Mahasuci Dia dan Maha Tinggi).
**********
Firman Allah Swt.:
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Qatadah mengatakan, tersebut di dalam ilmu Allah bahwa kelak di kalangan khalifah tersebut terdapat para nabi, para rasul, kaum yang saleh, dan para penghuni surga. Dalam pembahasan berikut akan disebutkan berbagai pendapat dari Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, serta sejumlah sahabat dan tabi'in mengenai hikmah yang terkandung di dalam firman-Nya: Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (Al-Baqarah: 30)
Al-Qurtubi dan lain-lainnya menyimpulkan dalil ayat ini, wajib mengangkat seorang khalifah untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara manusia, memutuskan persengketaan mereka, menolong orang-orang yang teraniaya dari perlakuan sewenang-wenang orang-orang yang zalim dari kalangan mereka, menegakkan hukuman-hukuman had, dan memperingatkan mereka dari perbuatan-perbuatan keji serta hal-hal lainnya yang penting dan tidak dapat ditegakkan kecuali dengan adanya seorang imam, mengingat suatu hal yang merupakan kesempurnaan bagi perkara yang wajib hukumnya wajib pula. Pengangkatan imam dapat dilakukan melalui nas seperti yang dikatakan oleh golongan ahli sunnah sehubungan dengan pengangkatan sahabat Abu Bakar r.a. Atau dengan penunjukan seperti yang dikatakan oleh golongan lain dari kalangan ahli sunnah. Atau dengan pengangkatan oleh khalifah yang mendahuluinya, seperti yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar As-Siddiq terhadap sahabat Umar ibnul Khattab. Atau pengangkatannya diserahkan kepada permusyawaratan sejumlah orang-orang yang saleh, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar. Atau dengan kesepakatan ahlul hilli wal 'aqdi yang sepakat mem-bai’at-nya.
Atau melalui pem-bai’at-an yang dilakukan oleh salah seorang dari ahlul hilli wal 'aqdi terhadap seseorang yang di-bai'at-nya. Bila terjadi hal ini, maka menurut jumhur ulama wajib ditetapkan. Imam Haramain meriwayatkan adanya kesepakatan ulama terhadap hal ini.
Atau orang yang terkuat di kalangan orang-orang banyak mengangkat dirinya secara paksa untuk ditaati, maka khilafah wajib diberikan kepadanya untuk menghindari perpecahan dan perselisihan. Pendapat ini telah dinaskan oleh Imam Syafii.
Apakah wajib mempersaksikan pengangkatan imam? Hal ini masih diperselisihkan. Di antara ulama ada yang mengatakan tidak disyaratkan adanya kesaksian, sedangkan pendapat yang lainnya mengatakan kesaksian merupakan syarat pengangkatan; hal ini cukup dilakukan oleh dua orang saksi.
Al-Jiba'i mengatakan bahwa saksi harus dilakukan oleh empat orang selain dari orang yang mengangkat dan orang yang diangkatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar r.a. Dia menyerahkan pengangkatan khalifah kepada permusyawaratan di antara enam orang. Yang terpilih menjadi pengangkat ialah sahabat Abdur Rahman ibnu Auf, dan yang diangkatnya ialah sahabat Usman, sedangkan hukum wajib saksi empat orang disimpulkan dari empat orang dari sisanya. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan.
Seorang khalifah wajib laki-laki, merdeka, balig, berakal, muslim, adil, mujtahid, dapat melihat, semua anggota tubuhnya sehat, berpengalaman dalam masalah pertempuran dan memiliki pendapat; dan dari kalangan Quraisy menurut pendapat yang sahih. Dalam hal ini tidak disyaratkan harus seorang Hasyimi, tidak pula orang yang terpelihara dari kekeliruan; berbeda dengan pendapat kaum militan dari golongan Rafidah.
Seandainya imam berbuat fasik, apakah harus dipecat atau tidak? Masalah ini masih diperselisihkan. Tetapi menurut pendapat yang sahih, ia tidak dipecat karena berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:
"إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ"
Terkecuali jika kalian melihat kekufuran yang terang-terangan (dilakukannya) terhadap Allah di antara kalian, sedangkan hal itu ada buktinya.
Apakah seorang imam boleh mengundurkan diri? Masalah ini masih diperselisihkan. Al-Hasan ibnu Ali r.a. mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada Mu'awiyah. Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu mempunyai uzur (alasan)nya tersendiri, ternyata sikapnya itu terpuji.
Pengangkatan dua orang imam dalam satu negeri atau lebih dari dua orang hukumnya tidak boleh karena ada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
"مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ"
Barang siapa datang kepada kalian, sedangkan perkara kalian telah bersatu, dia bermaksud memecah belah di antara kalian, maka bunuhlah dia oleh kalian di mana pun ia berada.
Demikianlah pendapat jumhur ulama, dan menurut suatu riwayat yang bukan hanya diketengahkan oleh satu orang disebutkan adanya kesepakatan mengenai hal ini; di antara mereka yang meriwayatkannya adalah Imam Haramain.
Mazhab Karamiyah mengatakan, diperbolehkan mengangkat dua orang imam, bahkan lebih, seperti yang terjadi pada Ali dan Mu'awiyah yang keduanya merupakan imam yang harus ditaati. Mereka mengatakan, apabila diperbolehkan mengutus dua orang nabi dalam waktu yang sama dan bahkan lebih dari dua orang, hal ini pun diperbolehkan dalam imamah, karena kenabian lebih tinggi kedudukannya daripada imamah tanpa ada yang memperselisihkan.
Imam Haramain meriwayatkan dari Abu Ishaq, diperbolehkan mengangkat dua orang imam atau lebih apabila letak wilayahnya berjauhan, sedangkan daerah-daerah di antara keduanya cukup luas. Akan tetapi, Imam Haramain bersikap ragu dalam hal ini. Menurut kami, pendapat ini mirip dengan keadaan para Khalifah Bani Abbas di Irak, Khalifah Fatimiyyah di Mesir, serta Khalifah Umawiyah di Magrib. Kami akan membahas seluruh masalah ini di tempat yang lain, yaitu bagian dari Kitabul Ahkam, insya Allah.